Artikel Berbobot

SIKAP KETIKA TINGGAL SATU RUMAH DENGAN ORANG TUA SETELAH MENIKAH

 Tinggal satu rumah dengan orang tua setelah menikah seringkali dianggap wajar apalagi di budaya kita yang menjunjung tinggi kebersamaan keluarga. Namun di balik hangatnya ikatan itu, ada ujian yang tidak ringan, benturan kecil antara dua perempuan yang sama-sama mencintai seorang laki-laki, hanya dengan cara yang berbeda. Ibu mencintai karena melahirkan, istri mencintai karena memilih. Dan di tengah dua cinta itu, berdirilah seorang suami yang sering kali bingung, harus berpihak pada siapa? Pertanyaan itu bukan sekadar soal keberpihakan, tapi soal kebijaksanaan. Karena tidak ada kemenangan dalam perdebatan antara ibu dan istri. Jika kau memenangkan satu, kau bisa melukai yang lain. Dan jika kau diam terlalu lama, kau bisa kehilangan keduanya. Maka yang dibutuhkan bukan keberpihakan, melainkan keseimbangan antara bakti dan tanggung jawab. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya de...

Gerobak Cinta Jember ?



Program Gerobak Cinta di Jember ini sepertinya mulai "Manis" di wacana ekonomi kerakyatan, tetapi di balik simbol citra cinta pemerintah, terdapat banyak celah serius yang tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja.

Pertama, lonjakan anggaran sangat mencolok dan tak wajar. Awalnya anggarannya hanya Rp 161 juta, tapi kemudian melejit menjadi Rp 12,6 miliar. Ini bukan sekadar overspend kecil, ini lonjakan ratusan kali lipat. Apa dasar kebutuhan anggaran sebesar itu? Apakah benar murni untuk PKL dan pedagang mlijo yang layak, atau ada kalkulasi politik di baliknya? Kecurigaan makin masuk akal karena ide program datang dari istri Bupati, Ghyta Eka Puspita.

Kedua, soal transparansi: Kepala Diskop UMKM, Sartini, secara blak-blakan menolak membuka data penerima bantuan gerobak, dan alasannya adalah "Menunggu petunjuk pimpinan." Kenapa data penerima yang notabene warga Jember dan menggunakan uang APBD jadi "rahasia"? Komisi B DPRD bahkan heran kenapa data bisa berubah-ubah dari 2.800 jadi 1.200, lalu kembali jadi 2.800. Ini menunjukkan perencanaan dan verifikasi data sangat goyah.

Ketiga, pelaksanaan program ini dipertanyakan dari segi teknis. Menurut Komisi B DPRD, Diskop tampak kurang matang dalam perencanaan. Profiler perusahaan pemenang tender pun jadi sorotan: PT Bumi Syariah Utama (BSU) disebut tidak punya workshop sendiri, hanya mengandalkan bengkel las mitra di tiga lokasi. Bagaimana bisa memproduksi ribuan gerobak dalam waktu singkat kalau kapasitas produksinya diragukan? Ini rawan mark-up atau bahkan kolusi.

Keempat, proses verifikasi penerima juga dipertanyakan. Dari target awal 2.800 penerima, yang dianggap valid hanya 1.282 orang menurut data DTSEN (Data Tunggal Sensus Ekonomi Nasional) yang disesuaikan.

Itu artinya hampir setengah calon penerima asalnya disisihkan lalu bagaimana perhitungan anggaran dibuat? Apakah dana disiapkan untuk 2.800 gerobak atau hanya sesuai penerima valid? Kalau tak terserap, bisa jadi jadi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA).

Intinya, program ini sangat rentan dicurigai sebagai proyek politis, bukan murni program sosial. Ada potensi ketidakadilan distribusi, mark-up anggaran, dan minimnya akuntabilitas. Pemerintah harus benar-benar buka data, memperjelas dasar anggaran, dan pertanggungjawaban publik wajib dilakukan sebelum "Gerobak Cinta" jadi gerobak kontroversi.

Komentar

Artikel populer

Tokoh-Tokoh Ekonomi Islam

Keterampilan Kepramukaan.