Artikel Berbobot

SIKAP KETIKA TINGGAL SATU RUMAH DENGAN ORANG TUA SETELAH MENIKAH




 Tinggal satu rumah dengan orang tua setelah menikah seringkali dianggap wajar apalagi di budaya kita yang menjunjung tinggi kebersamaan keluarga. Namun di balik hangatnya ikatan itu, ada ujian yang tidak ringan, benturan kecil antara dua perempuan yang sama-sama mencintai seorang laki-laki, hanya dengan cara yang berbeda.


Ibu mencintai karena melahirkan, istri mencintai karena memilih.

Dan di tengah dua cinta itu, berdirilah seorang suami yang sering kali bingung, harus berpihak pada siapa? Pertanyaan itu bukan sekadar soal keberpihakan, tapi soal kebijaksanaan. Karena tidak ada kemenangan dalam perdebatan antara ibu dan istri. Jika kau memenangkan satu, kau bisa melukai yang lain. Dan jika kau diam terlalu lama, kau bisa kehilangan keduanya. Maka yang dibutuhkan bukan keberpihakan, melainkan keseimbangan antara bakti dan tanggung jawab.


Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula.” (QS. Al-Ahqaf: 15)


Ayat diatas menegaskan bahwa berbakti kepada ibu adalah perintah yang agung. Tapi dalam ayat lain, Allah juga berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya antara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)


Dua ayat ini bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk dipahami bersama. Karena setelah menikah, seorang laki-laki tidak diminta memilih antara ibu dan istri. Ia hanya diminta belajar menempatkan keduanya dengan benar.


Bakti kepada ibu adalah bentuk cinta masa lalu yang tak boleh padam, sedangkan tanggung jawab kepada istri adalah bentuk cinta masa kini yang tak boleh diabaikan. Ibu adalah sumber kehidupanmu, tapi istri adalah teman perjalananmu. Maka tugas seorang suami adalah menjaga agar keduanya tidak saling melukai, meski terkadang, harus menelan lelah di tengah-tengahnya. Masalah sering muncul bukan karena ibu dan istri saling membenci, tapi karena keduanya mencintai orang yang sama dengan cara yang berbeda. Ibu merasa kehilangan sebagian anaknya, sementara istri berharap mendapatkan suami sepenuhnya. Ibu terbiasa memimpin, sementara istri mulai belajar berjalan sejajar. Dalam situasi seperti ini, suami tidak boleh hanya diam. Ia harus menjadi jembatan, bukan dinding. Ia harus belajar berbicara dengan kelembutan yang menenangkan, bukan dengan pembelaan yang membakar.


Ketika ibu marah, dengarkan dengan sabar. Jangan langsung membantah, karena kadang amarah seorang ibu hanyalah bentuk rindu yang tak diucapkan. Tapi setelah itu, jelaskan dengan lembut bahwa kehidupan rumah tanggamu kini punya sistem yang berbeda. Bahwa istrimu bukanlah pengganti ibumu, melainkan penerus cinta yang pernah ibumu tanam dalam dirimu. Dan ketika istri tersinggung, jangan buru-buru membela diri dengan mengatakan itu ibumu dan dia harus sabar. Kalimat itu hanya menambah luka. Peluk dia sembari mengatakan kamu tahu dia berjuang menyesuaikan diri, dan kamu tahu hal tersebut tidak mudah. Dengan begitu, kau tidak memilih pihak, tapi memilih kedamaian.


Seorang suami sejati tidak menimbang cinta ibu dan istri dengan neraca yang sama, karena keduanya tidak sebanding. Ibu dan istri bukan dua sisi yang harus dibandingkan, tapi dua cinta yang harus disinergikan. Ibu mengajarkanmu bagaimana menjadi anak yang berbakti, sementara istri mengajarkanmu bagaimana menjadi suami yang bertanggung jawab. Jika suatu hari keduanya berselisih, tahan lidahmu untuk tidak menyalahkan. Jadilah penenang, bukan hakim. Karena masalah dalam rumah tangga yang tinggal serumah dengan orang tua bukan selalu soal benar atau salah, tapi soal rasa yang belum saling paham.


Komunikasi adalah kuncinya. Sampaikan pada istrimu bahwa hormat kepada ibu bukan berarti ia lebih rendah. Dan sampaikan pada ibumu bahwa cintanya tak akan berkurang meski kini ada perempuan lain yang juga mencintaimu. Kadang yang dibutuhkan bukan pembelaan, tapi pengertian yang diucapkan dengan hati yang tenang. Jika suami mampu menjaga tutur kata, banyak luka bisa dicegah sebelum tumbuh. Jangan biarkan istri merasa sendirian di rumah yang seharusnya menjadi tempatnya bernaung. Jangan pula biarkan ibu merasa tersisih oleh keluarga yang dulu ia perjuangkan. Karena sekali salah langkah, rumah bisa menjadi tempat paling dingin di dunia, bahkan di bawah satu atap yang sama. Hidup satu rumah dengan orang tua memang penuh ujian, tapi juga penuh peluang untuk belajar, tentang kesabaran, tentang menghormati, dan tentang bagaimana menyeimbangkan cinta dalam ruang yang sempit.


Dan jika semua terasa berat, ingatlah satu hal, bahwa Allah tidak pernah memintamu menjadi sempurna, Ia hanya ingin kau berusaha adil. Adil bukan berarti sama, tapi menempatkan setiap cinta di tempat yang seharusnya. Berbaktilah kepada ibumu tanpa melukai istrimu, dan cintailah istrimu tanpa mengurangi hormat pada ibumu. Karena keduanya bukan lawan, tapi dua tangan yang sama-sama ingin menuntunmu menuju ridha Allah. Dan di antara keduanya, berdirilah engkau sebagai jembatan bukan yang memisahkan, tapi yang menyatukan dua cinta yang sama-sama suci.

---


#ceritainspirasi

Disclaimer:

Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Komentar

Artikel populer

Tokoh-Tokoh Ekonomi Islam

Keterampilan Kepramukaan.